Rumah Baca Akkitanawa: Mendorong Literasi dari Akar Rumput

Penulis: Arjuna (Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuwan PC IMM Palopo)

Di tengah tantangan akses pendidikan dan minat baca di daerah, muncul inisiatif-inisiatif mandiri yang patut dicermati. Salah satunya adalah Rumah Baca Akkitanawa (RBA), komunitas literasi yang berakar di Luwu dan Palopo. Berangkat dari kepedulian terhadap rendahnya akses bacaan dan ruang diskusi, RBA hadir sebagai tempat belajar bersama yang dikelola oleh anak-anak muda dengan semangat kolaboratif.


Asran Salam, pendiri RBA, menjelaskan bahwa komunitas ini dibentuk dari kepedulian terhadap rendahnya akses literasi di banyak daerah, terutama di desa dan daerah pinggiran kota. Asran juga menyatakan bahwa RBA lahir dari kecintaannya pada buku dan ingin menghadirkan ruang  belajar untuk masyarakat. RBA diharapkan menjadi ruang bagi generasi muda untuk menghidupkan budaya membaca, berdiskusi dan belajar bersama.

“Kami ingin menghadirkan tempat yang tidak hanya menyediakan buku, tapi juga memberi ruang untuk berdiskusi dan membangun kesadaran bersama,” katanya.


Filosofi di balik nama “Akkitanawa” menjadi ruh dari seluruh aktivitas mereka. Dalam bahasa Bugis, akkita berarti melihat dan nawa berarti hati. Akkitanawa dimaknai sebagai “melihat dengan hati.” Sebuah prinsip bahwa belajar bukan hanya soal mengisi pikiran, tetapi juga menyentuh nurani dan rasa peduli terhadap sesama.  


RBA hadir ditengah masyarakat sebagai wujud pengabdian, di daerah yang membutuhkan perhatian khusus dalam pengembangan Literasi. seperti di Bastem, daerah  pegunungan yang tak mudah dijangkau. Di sanalah relawan-relawan RBA membuat perkemahan,  menggelar pentas literasi untuk anak-anak, mendengar cerita lokal, dan belajar membumi bersama masyarakat. Pengabdian ini tidak hanya menjadi kegiatan  seremonial tapi sebagai bentuk nyata dari pendidikan yang menggembirakan. RBA meyakini bahwa tugas pendidikan bukan hanya dibebankan pada guru melainkan tugas bersama dalam masyarakat.  


Selain program pengabdian masyarakat, RBA juga membangun basis kegiatan intelektual di kos Al-Farabi yang berada di Kota Palopo. Tempat tersebut mereka jadikan sebagai sekretariat dan pusat aktivitas. Program Diskusi Kamisan dijalankan secara rutin, dengan tema-tema kajian yang tematik dan relevan dengan isu sosial, keagamaan, filsafat, pendidikan, hingga budaya. Selain Diskusi Kamisan, berbagai program juga digalakkan, seperti berkolaborasi dengan sekolah maupun kampus dalam membuat kajian-kajian literasi dan mengadakan lapak baca ditempat yang sering dikunjungi masyarakat seperti taman baca. kegiatan tersebut dilaksanakan secara berkala, melibatkan mahasiswa, pemuda, dan masyarakat umum.


Untuk mendukung kegiatan ini, RBA mengelola perpustakaan komunitas dengan koleksi buku yang cukup beragam: dari sastra, filsafat, sejarah, hingga literatur keagamaan. Bagi relawan RBA, perpustakaan bukan hanya tempat menyimpan buku, melainkan ruang interaksi yang mempertemukan pengetahuan dan pengalaman.


Hasrul Sunni, selaku Kepala Suku RBA, menyampaikan bahwa suasana belajar di RBA dirancang terbuka dan partisipatif.


“Kami ingin siapa pun yang datang merasa diterima, tanpa dibatasi latar belakang atau kemampuan,” ungkapnya. Suasana ini dijaga agar kegiatan belajar tidak terasa berat, tetapi tetap memberi ruang tumbuh yang serius.


Sementara itu, Rifki Tamsir, salah satu relawan, menceritakan pengalamannya mengikuti berbagai kegiatan di RBA. Ia mengaku mendapatkan banyak hal, terutama dari kegiatan kajian dan pengabdian desa.


“Yang paling saya rasakan, RBA memberi ruang yang adil bagi semua. Tidak ada yang merasa paling tahu, semua sama-sama belajar,” ujarnya.


Rumah Baca Akkitanawa menjadi contoh nyata bahwa gerakan literasi dapat dibangun dari inisiatif komunitas, dengan pendekatan yang fleksibel dan membumi. Melalui fasilitas sederhana, program yang konsisten, dan kerja sama lintas sektor, RBA memperlihatkan bagaimana literasi bisa tumbuh, berkembang, dan berdampak tanpa harus menunggu dukungan besar, karena dengan budaya literasi maka kemajuan ilmu pengetahuan  dapat dicapai.  


Rumah Baca Akkitanawa memang bukan solusi besar untuk persoalan pendidikan. Tetapi mampu menawarkan ruang kecil yang nyata, tempat orang bisa tumbuh, perlahan tapi pasti. Ketika ruang belajar makin mahal dan akses makin sempit, RBA hadir sebagai alternatif belajar bersama. RBA tidak menjanjikan perubahan instan, tetapi membuka jalan kebaikan. Tidak menuntut orang menjadi cerdas, tetapi mengajak orang untuk terus belajar. Dari ruang sederhana RBA memberi contoh bahwa literasi dapat dimulai dari mana saja, selama ada niat dan keberanian memulai.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama