Penulis: Rifki (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Olahraga UM Palopo)
Dalam organisasi
ada tujuan bersama yang ingin diwujudkan. Agar sampai pada tujuan itu, setiap
orang di dalamnya harus memahami tugas dan tanggug jawabnya. Namun, saat ini
banyak orang-orang yang menduduki jabatan dalam organisasi di kampus UM Palopo,
tidak memahami tugas dan tanggung jawabnya. Jabatannya sekarang hanya sekedar formalitas,
berharap validasi dan di anggap cakap, bukan untuk melayani, menggerakkan, atau
membina.
Bagaimana
mungkin organisasi mahasiswa ingin berkontribusi, jika bahkan tak tahu fungsi dan
perannya. Organisasi mahasiswa UM Palopo kehilangan identitas gerakan dan nilai
dasar perjuangan. Banyak masalah yang timbul dan nampak jelas di mahasiswa. Organisasi
tidak lagi megadvokasi masalah-masalah ini. Organisasi mahasiswa seperti
dikebiri, tidak ada keberanian bersikap terhadap isu ketidakadilan di dalam
kampus.
Jika organisasi
mahasiswa kehilangan nilai perjuangan dan keberpihakan. Maka apa bedanya dengan
birokrasi?. Melihat organisasi mahasiswa saat ini khususnya dalam kampus UM Palopo
hanya sebagai panggung pencitraan, haus validasi, miskin kontribusi. Semuanya
berlomba-lomba membuat program kerja agar terlihat eksis. Orang-orang itu lebih
sibuk membuat dokumentasi agar tidak di serang pada saat laporan pertanggung jawaban
(LPJ), daripada membuat gagasan pemikiran untuk perhatian dan tanggung jawab sosial.
Mahasiswa lebih ingin dikenal sebagai pengurus daripada sebagi penggerak.
Apakah
organisasi hari ini benar-benar bekerja, atau hanya ingin terlihat seperti
sedang bekerja?. Semua
ini terjadi karna organisasi UM Palopo sudah jauh pada nilai-nilai kemahasiswaan.
Salah satu nilai mahasiswa adalah keingintahuan. Keingintahuan hanya didapatkan
melalui membaca, Jarangnya aktivitas membaca dan kajian keilmuan membuat daya
kritis itu hilang. Bukankah mahasiswa akan lebih bernilai jika berilmu. Tan
Malaka pernah mengatakan bahwa hal yang paling berharga dari pemuda dan
mahasiswa adalah idealismenya.
Idealisme itu
hanya akan tumbuh dengan kepedulian. Sementara kepedulian itu hilang dikalangan
teman-teman organisasi. Terbukti, sebagian besar mahasiswa merasa tidak
terbantu dengan keberadaan organisasi (himpunan atau lembaga). Organisasi
menutup mata terkait persoalan langsung mahasiswa seperti, uang kuliah,
fasilitas yang kurang memadai, parkiran, akses WI-FI, dosen yang abai, atau
trasparansi akademik.
Sehingga
mahasiswa kehilangan kepercayaan, menganggap organisasi hanya milik segelintir
orang. Sifat apatisme meningkat, lemahnya kaderisasi membuat tidak ada regenerasi
kritis, yang ada regenerasi jabatan. Organisasi kehilangan fungsi sosial
sebagai perpanjangan tangan suara mahasiswa. “Jika lembaga mahasiswa tidak
berdampak pada mahasiswa, lalu untuk siapa mereka bekerja?”
Dari semua
permasalahan ini, harus ada kesadaran dari setiap pengurus kelembagaan dan
mahasiswa UM Palopo terkhususnya. Organisasi mahasiswa harus melakukan
kaderisasi yang sistematis dan terarah. Mulai dari membentuk kerangka pemikiran,
mengembangkan pengetahuan sehingga daya kritis dari kader akan terbangun. Selanjutnya
pengurus organisasi harus paham betul dengan tupoksi dan tanggung jawab dari bidang yang di
jabatnya.
Selain itu
pengurus tidak hanya berfokus kepada program kerja. Tetapi harus pekah melihat
keresesahan mahasiswa lainnya. Harapannya organisasi mahasiswa lebih progresif
mengawal kebijakan yang tidak berpihak bagi mahasiswa. Satu kata untuk semua “TUNDUK
TERTINDAS ATAU BANGKIT MELAWAN”.
Posting Komentar