![]() |
Kesadaran Multikultural di Indonesia bukanlah hal baru, semua sudah dihayati sejak Indonesia berjuang untuk merdeka. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” semboyan yang membuktikan Indonesia yang multikultural. Sebuah semboyan yang sebenarnya tinggal dihidupi. Perbedaan bukan masalah tetapi kesatuan itulah yang seharusnya menjadi masalah. Bicara multikultural sering orang hanya sibuk dengan perbedaan bukan proses penghargaannya. Sisi yang lain dari masalah multikultural adalah masalah untuk menjadi satu bukan menjadi sama.
Orang Indonesia senang dengan yang seragam, kalau tidak seragam itu dianggap lawan dan saingan. Lihat saja semua proses kemanusiaan dan sosial di tengah bangsa ini, banyak ditempuh dengan simbol-simbol kelompok dan semua tanpa sadar mempertajam perbedaan tanpa penghargaan. Perhatikan saja dalam masalah kemanusiaan seperti bencana alam, semua orang bergerak karena simbol kelompok entah itu partai atau agama, tidak murni karena kemanusiaan.
Masalah dibalik Multikultural
Kesadaran multikultural menurut saya sebuah respon perjuangan yang semakin menguat setelah krisis dehumanisasi oleh tradisi-tradisi besar dalam tafsir kebenaran tunggal. Ada 3 masalah dalam perjuangan Multikultural: pertama, semakin lemah dan minimnya perlindungan hak asasi manusia untuk memegang keyakinan agama dan budayanya; kedua, hukum yang dicampuri politik kekuasaan menjadi hukum yang dipermainkan; ketiga, agama yang dikendalikan untuk kepentingan politik, bukan lagi membangun nilai-nilai kemanusiaan.
Pembakaran dan penganiayaan terhadap kelompok agama yang berbeda dalam ajaran dengan agama arus utama menjadi hal yang sering di mata kita. Penutupan rumah ibadah dan sering diberi solusi untuk relokasi, semua menunjukkan semakin minim perlindungan hal asasi manusia untuk memegang keyakinannya. Pada akhirnya agama dan budaya menjadi sama, alat untuk berkuasa dan menekan kelompok budaya dan agama yang lebih minor.
Dengan demikian agama tidak lagi menjadi kekuatan untuk membangun kepedulian dan kemanusiaan, tetapi menjadi kekuatan untuk mewujudkan diri sebagai penguasa.Proses membangun bangsa di segala bidang hanya mengatasnamakan kelompok atau agama tertentu tanpa lagi mempertimbangkan kompetensi. Jabatan-jabatan tertentu hanya dipegang oleh orang-orang dengan agama tertentu untuk sebuah kepentingan politik kelompok dan agama tertentu. Seharusnya pemimpin itu berdiri dengan legitimasi moral. Artinya dinobatkan oleh rakyat karena kontribusi dan perjuangan moralnya. Pemimpin sejati bukan sekedar pejabat, tetapi bisa diuji dalam situasi krisis seperti sekarang ini. Pemimpin bukan pengamat oportunis yang amat canggih; pemimpin yang hanya tampil kalau menguntungkan posisi kelompok dan dirinya sendiri.
Mulailah dengan kritik diri sendiri
Setiap agama dan setiap kebudayaan selalu memiliki sisi represif, dehumanis dan penindasan, seharusnya diubah menjadi peradaban yang memperjuangkan emansipasi, pemerdekaan atau transformasi. Setiap komunitas seharusnya membuat kritik kebudayaan untuk agamanya sendiri: Sisi manakah dari agamaku dan keyakinanku yang harus ditafsirkan ulang agar tidak menjadi destruktif terhadap kemanusiaan? Seorang teolog bernama Emanuel Gerrit Singgih katakan “Kesalahan kita, kita terlalu yakin bahwa pandangan teologis kita adalah yang paling identik dengan teks kitab suci. Sehingga semua tafsiran kita cenderung hanya untuk membenarkan DOGMATIKA dalam otak kita.” Saya tidak meminta untuk melakukan tafsir dan kritik diri untuk menjadi sama tetapi untuk menghargai. Menjadi sama sangat berbeda dengan saling menghargai. Setiap budaya atau agama punya bagian yang unik dan biarkan yang unik tetap unik.
Budaya ibarat sebuah rumah. Ada bagian yang terbuka untuk kebersamaan tetapi tetap ada bagian yang sangat pribadi dan itu menjadi keunikan masing-masing rumah. Dibagian yang terbuka untuk bersama tetap akan punya keunikannya sendiri. Agama dan budaya seharusnya menghadirkan pembaharuan diri manusia pada penghargaan atas hidup dan sesamanya. Pembaharuan Hidup bukan sekedar menjadikan kita beragama tetapi menjadi kita berfungsi sebagaimana kita ini dicipta.
Lanjutkan persahabatan keluar tembok
Ibarat orang naik mobil, selalu ada 2 kaca di mobil, yaitu kaca spion dan kaca depan. Kaca depan lebih besar karena kita diminta untuk melihat ke depan dengan lebih sering dan lebih tajam. Kaca spion untuk melihat ke belakang cukup hanya sekali-kali saja digunakan. Untuk bangunan persahabatan merupakan bangunan yang harus dibangun dengan lebih banyak melihat ke depan, bukan melihat ke belakang.
Persahabatan sesuatu yang informal dan menyenangkan, tidak ada paksaan dan sama-sama membutuhkan. Perasaan seperti ini yang seharusnya dibangun kembali dalam sinergi oleh semua elemen bangsa, termasuk para pemimpin negeri ini menjadi bagian dalam persahabatan dengan semua masyarakat. Pendekatan kepemimpinan yang melayani seharusnya ditingkatkan. Kemarahan-kemarahan yang akhirnya tajam pada bentuk primordialisme, seringkali disebabkan kehidupan yang tidak wajar oleh para pemimpin negeri ini. Faktor kepentingan politik dan ekonomi seringkali menjadi hal yang utama yang merusak persahabatan. Bagaimana bisa bicara persahabatan yang sejajar dan beradab kalau kenyataan selama ini tampak seperti dalam puisi Rendra
Karena kami makan akar; dan terigu menumpuk di gudangmu.
Karena kami hidup berhimpitan, dan ruanganmu berlebihan.
Maka kita bukan sekutu.
Karena kami terlantar di jalan dan kamu memiliki semua keteduhan.
Karena kami kebanjiran, dan kamu berpesta di kapal pesiar.
Maka kami tidak menyukaimu.
Karena kami dibungkam dan kamu nerocos bicara.
Karena kami diancam, dan kamu memaksakan kekuasaan.
Karena kami cuma bersandal dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan, dan kamu punya penjara.
Maka kami harus sopan, dan kamu punya penjara.
Maka kami bilang, tidak…..! Kepadamu.”
Memahami multikultural di Indonesia mesti terjadi sinergi peran pada setiap orang dan lembaga agama serta pemerintahan. Ketiga pilar yang akan banyak mempengaruhi proses penghargaan pada multikultural di Indonesia. Multikultural bukan dibicarakan perbedaannya tetapi dihargai oleh setiap pelaku kebudayaan dalam nilai dan tanggungjawab moral.
Kalau budaya menjadi hasil karya budi pekerti dan batin manusia seharusnya juga menghasilkan penghargaan dan nilai-nilai baru untuk budi pekerti setiap orang dalam kehidupan ini. Nilai untuk hidup semakin beradab dalam menempatkan setiap manusia dan lingkungannya. Ketika kehidupan bangsa ini semakin tidak beradab, maka berbanding lurus dengan itu masyarakatnya juga akan mengabaikan perannya untuk membangun bangsa. Bangunlah penghargaan pada agama dan budaya yang berbeda, karena semua itu hasil karya hidup batin setiap manusia, supaya Anda juga bisa menyentuh batin orang lain.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya
Posting Komentar